top of page

Hari pertama: "Indonesia Maya, Mereka Mereka"

Bila mengulik terkikisnya budaya Indonesia, mungkin “globalisasi” akan menjadi kata pamungkas yang berada di baris pertama paragraf. Kemudian dilanjutkan dengan internet, Korea, Amerika, Jepang dan negara-negara “pengekspor” budaya lainnya. Mungkin sudah saatnya kita berhenti menyalahkan globalisasi, dan mulai menyalahkan diri sendiri. Lewat dunia maya, invasi budaya asing merupakan konsekuensi logis yang harus dihadapi. Ada dua pilihan, mengikuti atau melestarikan budaya sendiri. Pilihan tersebut tentu mudah jika dijawab secara normatif, namun terasa sulit bila harus jujur dan reflektif.

 

Pada program "Indonesia Maya, Mereka (baca: me-reka, seperti pada "reka ulang") Mereka" ini, kita akan berbicara mengenai keputusan sebagian kaum muda untuk memuja budaya luar. Tanpa niatan menghakimi mereka, kita juga perlu reflektif bertanya: “Perlukah kita melestarikan budaya Indonesia? Maukah kita? Bila ya, untuk apa? Nyatanya kehilangan budaya tidak sepahit kehilangan akses internet untuk melihat dunia luar. 

 

Hari Kedua "Politik sudah tak menggelitik"

Mungkin kita masih ingat masa-masa reformasi di rezim Orde Baru. Kala itu, kaum muda berada di garis terdepan rantai aspirasi rakyat yang terbungkam oleh kesewenangan penguasa. Bahkan, sedikit lebih jauh ke belakang, kita juga dapat mengingat besarnya kontribusi kaum muda saat mencipta Indonesia lewat sumpah pemuda, dan peristiwa Rengasdengklok yang mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saat-saat itu merupakan saat-saat di mana politik masih menggelitik kaum muda. Begitu menggelitiknya hingga kaum muda turun tangan sendiri untuk menyelesaikannya.

 

Kini, setelah koloni hengkang dan rezim yang terlalu berkuasa berhasil tumbang, kebebasan untuk menjadi bagian dari perjalanan politik Indonesia sebenarnya terbuka lebar. Namun, entah mengapa kaum muda terlihat enggan untuk masuk. Beberapa dari mereka hanya mengumpat, sementara yang lainnya menutup telinga rapat-rapat. Kebobrokan politik Indonesia pun semakin tak tersentuh dan jauh dari kata pulih.  “Seribu orang tua dapat bermimpi, satu orang muda dapat mengubah dunia,” Bung Karno pernah berucap. Sayangnya, kaum muda begitu hening terhadap situasi perpolitikan di negerinya sendiri. Di ekstrim yang berlawanan, kaum muda mendengungkan pesimisme, serta sarkasme terhadap politik Indonesia. Untuk apa kaum muda melakukan itu? Masihkah kaum muda punya suara di tengah hiruk pikuk pentas politik yang diperankan ala kadarnya oleh para elit? 

Hari Ketiga: "Diskriminasi tanpa Isi"

Banyak penjelasan yang dapat dipaparkan mengenai alasan seseorang menjadi homoseksual. Namun belum ada satupun alasan yang mampu meningkatkan penerimaan mereka di masyarakat. Lingkar Survei Indonesia (LSI), pada tahun 2012 mengabarkan bahwa 80,6 persen sampel populasi menolak bila harus hidup bertetangga dengan seorang homoseksual. Bila ditanya mengapa, mungkin mereka mampu menjawabnya dengan berbagai alasan.

 

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), homoseksualitas bukanlah sebuah gangguan atau penyakit jiwa. Fungsi seseorang tidak terganggu karena orientasi seksual yang ia miliki. Nyatanya, orang-orang yang mengidap homophobia lah yang justru mengganggu sekaligus terganggu fungsinya. Seperti halnya seseorang yang takut akan ketinggian atau laba-laba, mereka merasa terancam dengan keberadaan homoseksual. Phobia ini kemudian mendasari perilaku mereka yang mendiskriminasi, menganiaya, menghujat dan mengusir para homoseksual, dengan mengatasnamakan keseragaman, kebenaran, serta kodrat manusia yang harus heteroseksual.

 

Pertanyaannya, siapa kah yang sedang "sakit" di sini?

Hari Keempat :"Mengekspos Persona Paradoks"

Tan Malaka mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda. Kaum muda juga mungkin telah memiliki gambaran idealnya masing-masing, karena muda adalah momen untuk menemukan keistimewaan diri. Namun ternyata idealisme kaum muda bisa menjadi bualan belaka, ketika bertindak benar justru terasa janggal.

 

Alhasil, menjadi muda tidak jauh berbeda dari proses pencitraan diri. Ada yang kerap kali menonjolkan isu-isu yang ia geluti dengan mengumbarnya ke berbagai jaringan maya. Padahal faktanya ia hanya berdiam diri saja, tidak menciptakan tindakan yang mendukung isu-isu yang ia bagikan di jejaring maya. Ada apa dengan anak muda saat ini? Mengapa tidak berani bertindak namun lebih sering berkicau saja? Nyatanya satu tindakan lebih berarti dibanding ribuan kicauan yang disampaikan di jejaring maya. Kata-kata bijak memang mampu dijadikan idealisme pribadi. Namun tidak akan mempengaruhi manusia lain jika tetap menjadi idealisme pribadi yang tidak dinyatakan melalui tindakan.

 

Menjadi muda bukan hanya persoalan pembentukan konsep diri yang ideal namun bertindak sesuai kebutuhan nyata. Jika memang tidak setuju, gelengkan kepala, walau banyak orang yang mengangguk secara bersamaan. 

 

Hari Kelima "Muda = ?"

Menjadi muda adalah persoalan pembentukan jati diri. Menentukan suatu konsep yang adalah saya dan konsep yang bukan saya. Berdasarkan penentuan tersebut terbentuklah aktualisasi diri di kalangan muda. Saya berbeda dengan orang lain. Beda cerita, beda perjalanan, beda potret. Melihat keberagaman cerita di kaum muda, sangat mungkin muncul berbagai persepsi dan refleksi mengenai kaum muda urban.

Dengan adanya kompetisi ini, peserta yang juga adalah kaum muda urban dapat bebas berkarya dan menggambarkan seperti apa kaum muda itu. Kompetisi ini ingin melihat apa yang sebenarnya paling menggambarkan kaum muda urban, terutama di era modernisasi saat ini.

bottom of page